• Home
  • About
  • Contact
  • Help
skip to main | skip to sidebar

Akiira's Blog

Tuesday, 13 June 2017

Sepenggal Cerpen : Tanah Para Pejuang

Hi mina akhirnya aku kembali ngepost hari ini ! Yaps, kali ini aku mau ngepost tentang sebuah cerpen yang pernah aku coba bikin waktu SMA dulu plus dibantuin ngedit sama teman sekelompok. Sebenarnya waktu itu ditugasin suruh buat novel, cuma karena kepanjangan jadinya ya cerpen doang hahahaha. Dan, entah apa alasannya aku kepengen ngeposting ini. Selamat menikmati!


Tanah Para Pejuang


Sebuah kenyataan tak seperti khayalan
Perih selalu menjadi bumbu kehidupan
Tetapi, tak ada daya selain berjuang
Meski terkadang aku bertanya pada haluan : “benarkah jalanku ini?”
Lalu aku tetap penasaran dan terus bertanya pada diriku: “apakah prinsip yang terjunjung kuat ini yang terbaik untukku?”
Dalam setiap keraguan, termantapkan langkah semu
Berharap setitik sisa cahaya menyirnakan kegelapan


      Kyoto 1864. Musim panas tengah berlangsung di negeri matahari. Ladang-ladang petani tampak bermandikan kilauan warna kuning keemasan padi yang telah siap panen di bawah terik mentari. Hamparan bulir-bulir padi yang menyembul bagaikan emas-emas kecil di mata para petani yang dengan cekatan memanen padi hasil jerih payahnya. Adalah aku Mochizuki Takuma, seorang anak petani miskin dengan baju lusuh dan sandal jerami yang telah usang,  jeraminya bahkan terlihat mencuat dari jalinannya, berbekal parang kecil yang berkarat ku coba tak menghiraukan peluh yang bercucuran membasahi bajuku. Rambut hitam legamku terasa berat dan lepek. Sesekali angin bertiup ke arah wajahku yang kotor, kalau-kalau aku bercermin saat itu barangkali tampangku lebih pantas disebut anak gelandangan. Tangan kasarku dengan sabar memainkan parang di tangan untuk memanen padi. 

     Tak jarang juga tanganku tergores, aku bersyukur lukanya tak dalam karena aku yakin orang miskin sepertiku tidak akan mampu pergi ke tabib dan meminta untuk diobati. Sekalipun aku punya uang, sudah tentu si tabib tidak akan sudi menerimaku, bisa saja ia langsung menendangku keluar melihat tampangku yang kumal. Sekali lagi jika memang benar aku memiliki uang, aku akan membelikan obat untuk Ibuku. Wanita yang telah mengandungku itu tidak pernah mempunyai riwayat kesehatan yang baik, ditambah lagi Ayahku telah gugur dalam suatu pertempuran. 

       Negeri matahari kala itu memang sering terjadi konflik dan memicu peperangan antar klan, alasan utamanya adalah kekuasaan. Mungkin semboyan siapa kuat dia rajanya adalah suatu prinsip hidup yang kekal dianut. Meski saat ini era Edo telah dimulai dan kondisi pemerintahan cukup stabil karena kaisar sebagai pemimpinnya, tapi kekuasaan shogun masih tetap menjadi pemeran utama dalam pemerintahan. Kondisi ini tak menambah kedamaian di negeri matahari, ide-ide jahil kaisar seolah menjadi pendobrak kebiasaan lama negeri ini yang telah menutup diri dari pengaruh dunia luar membuat banyak pertentangan antara fraksi kaisar dan fraksi keshogunan. Ayahku yang setia bahkan rela mengangkat pedang demi melindungi tuannya, sang kaisar dari pemberontak. Entah siapa yang harus disalahkan, Ayahku gugur dan tak meninggalkan sedikitpun harta, yang tertinggal hanya sepetak kecil ladang, mungkin ini adalah kekhilafan kaisar yang tiba-tiba lupa akan jasa-jasa Ayahku selama ini. Dahulu, sejak era Sengoku klan Sanada adalah penghasil samurai yang hebat. Klan Mochizuki adalah salah satu pengikutnya yang setia, meskipun pada akhirnya harus bertekuk lutut di hadapan Oda Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu dalam pertempuran sekigahara bertahun-tahun yang lalu, sedikit dari para pengikut dari klan sanada yang bertahan dan akhirnya ada yang lebih memilih memihak kaisar, ada juga yang keberadaannya seakan menghilang dari sejarah. Mungkin akulah anggota terakhir klan 'sang pengikut setia Sanada', Mochizuki yang bahkan bukan seorang samurai, melainkan hanya petani miskin yang berharap bisa merubah nasibnya agar tetap bertahan di Era Edo yang keras.
 

                Semburat cahaya jingga di langit senja sejenak menghilangkan letihku memanen emas-
emas kecil seharian.

“Aku pulang, ” sahutku.

“Selamat datang, ” jawab Ibuku yang masih bisa-bisanya memasak makan malam untukku di tengah kondisinya yang lemah.

“Seharusnya Ibu tidak perlu melakukan ini. Semua ini hanya akan membuat kondisi Ibu bertambah parah saja, .”

“Tidak Nak, tidak mungkin bagi Ibu tega membiarkanmu memasak makan malam sendirian, sementara seharian ini kau bekerja di ladang. Ibu tahu kau pasti lelah. Setidaknya biarkan Ibu melakukan sesuatu untukmu”. Aku hanya diam, seolah tak ada kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulutku.

        Malamnya, angin cukup kencang bertiup. Aku keluar kamar dan memeriksa pintu geser di kamar Ibuku kalau-kalau berlubang. Sesampainya di sana, dugaanku ternyata benar. Kertas pelapisnya banyak yang berlubang. Ku ambil beberapa kertas dan perekat untuk menambalnya. Seusai menambal, sekalian saja ku periksa kondisi Ibuku. Ketika ku sentuh dahinya, perasaan takut mulai datang, Ibuku demam tinggi. Segera aku berlari ke dapur mengambil air dan lap, ku letakkan kompresan di dahinya.

“Jangan menyesali nasib kita, sungguh ini bukan kesalahan kaisar. Ibu yakin Yang Mulia tidak sengaja melupakan Ayahmu. Teruslah berjuang dan jangan pernah menyerah, kau adalah seorang anak samurai yang hebat,". Ibuku tiba-tiba terbangun dan mengatakan hal yang sangat dalam bagiku. 
  
           Angin malam kala itu terasa lebih dingin dari biasanya. Memang benar Ayah mencoba bertahan hidup dalam lingkaran kekuasaan kaisar dengan menjadi prajuritnya, sebagai keturunan Mochizuki yang selamat dan masih dapat menikmati dunia, tapi apakah pantas seorang kaisar melupakan begitu saja jasa yang selama ini telah Ayahku berikan ? Bahkan sampai akhir hayatnya, jangankan Ayah bahkan Ibuku pun dan aku tak pernah bisa menikmati kehidupan selembut sutera, melainkan harus menjalani kehidupan dengan penuh duri.

        Paginya, Ibuku sudah tidak mengatakan apapun dan hanya terdiam. Tangan hangatnya kini terasa dingin. Ia berwajah pucat nan polos seperti segala beban yang dipanggulnya sirna sudah. Aku hanya terdiam sunyi. Entah apa yang membuatku mematung tak tentu. Hingga burung mulai berkicau menyadarkanku. Ya, sungguh tepat sekali, Ibuku telah meninggalkanku. Menyusul Ayahku dan hidup bahagia bersama, mungkin.

              Di tengah sedikit kesadaranku, ku bongkar uang simpananku untuk membayar biaya kremasi, untunglah uangnya cukup. Jasad Ibu kini telah menjelma menjadi abu yang tersimpan dalam sebuah botol. Sekarang aku hanya sendiri, termenung dalam gubuk reyotku. Badanku terasa lunglai bahkan tak ada tenaga bagiku untuk menangis. Aku pun sempat berpikir, kenapa aku tak dilahirkan di tengah-tengah perang Sekigahara agar aku dapat mati bersama leluhurku, sehingga aku tak perlu menjalani hidup yang begitu sulit. Ucapan Ibu semalam masih tersimpan dalam benakku. Tiba-tiba terlintas dalam benakku sebuah tekad besar. ‘aku akan pergi ke Edo, mencoba mengubah nasib’.
Ku kemasi semua barangku, pakaian bututku, sisa uang yang ku miliki, beberapa buah nasi kepal sebagai bekal, tak lupa botol berisi abu Ibu, dan sebuah pedang milik Ayahku dulu. Hanya benda itu sajalah yang ku miliki dalam keadaan bagus. Aku berjalan keluar rumah dan mencoba mencari tumpangan menuju Edo. Cukup lama aku menunggu di persimpangan jalan, tak ada seorang yang lewat menuju Edo. Namun, pada akhirnya penantianku membuahkan hasil. Seorang pria tua yang membawa dagangan kain lewat dengan pedatinya yang cukup sesak dipenuhi gulungan-gulungan kain.

“Kek, apa Kakek akan ke Edo?”

“Iya, kenapa anak muda?”

“Tolonglah berikan aku tumpangan ! Mungkin aku tak punya uang untuk membayar tapi akan ku bagi nasi kepalku”

“Hahahaha, ” Kakek itu terkekeh. “Tak perlu Nak, silahkan kau naik saja jika kereta kecilku masih muat untukmu”. Wajahku cerah seketika, aku pun langsung bersemangat menaiki pedati Kakek baik itu. Walaupun aku cukup kepayahan memindahkan dan mengatur gulungan-gulungan kain dagangan Kakek agar aku dapat menumpang.

        Cukup lama perjalanan yang ku tempuh, hingga akhirnya sampai juga aku di Edo. Suasana sangat ramai, jalanan dipenuhi oleh orang berlalu lalang. Di setiap sudut banyak kios kecil berjajar rapi, mulai kios makanan sampai pernak-pernik pun ada. Tak jarang juga aku melihat beberapa pasukan Shinsegumi berpatroli lalu ada beberapa prajurit kerajaan yang sibuk berjalan kesana kemari entah apa yang dicari. Ada juga sebagian dari mereka yang duduk santai di kios minuman sambil bercengkrama dengan rekan sejawatnya. Tiba-tiba terlintas dipikiranku, mengapa aku tak mencoba mendaftarkan diri sebagai prajurit? Ide aneh dan cukup gila, mengingat aku tak memiliki sedikit pun kemampuan berpedang, bahkan Ayahku sendiri tak pernah sempat mengajarkanku ilmu bela diri itu.

         Bugh! Entah sengaja atau tidak, seseorang menabrak bahuku dengan keras aku menoleh ke belakang mencari penyebabnya. Tanpa ku sadari orang itu tengah berada di sampingku. “Oh, maaf, ” katanya sambil tersenyum lucu. Pertama kali jika kau melihat orang ini pasti beranggapan ia adalah seorang pelawak. 

“Hei, orang lucu apa yang kau lakukan hingga menabrakku? Apa jalan di Edo sesempit ini sampai tak ada jalan lain yang dapat kau lalui tanpa menabrak orang?”

“Aku kan sudah minta maaf, dan sebenarnya aku ini bukan orang lucu tetapi orang yang akan menjadi calon prajurit istana, ” dengan bangganya ia berucap sembari memamerkan pedangnya dan tersenyum dengan giginya yang putih.

“Begini saja, mari kita luruskan. Aku Mirota Natsuke dari Kyoto. Lalu kau siapa?”
Aku terhenyak, selama aku lahir dan dibesarkan di Kyoto, aku tak pernah melihat tampang lucu mukanya. Apa ia orang gila? 

“Hei kau! Kenapa diam saja?, ” ucapannya mengejutkanku. 

“Oh, iya aku Mochizuki Takuma, dari Kyoto”.

“Wah ternyata asal kita sama, tapi sepertinya aku tak pernah melihatmu”

“Ya, aku pun sependapat. Ngomong-ngomong apa maksudmu calon prajurit?”

“Aku akan mendaftar sebagai prajurit istana, kau mau ikut?”

Belum sempat aku menjawab, tanganku langsung ditariknya dengan setengah berlari kami menuju pos pelatihan khusus prajurit. Begitulah awal pertemuanku dan persahabatanku dengan si muka lucu, Natsuke.


           Satu tahun berlalu akhirnya kami resmi diangkat menjadi prajurit resmi kerajaan. Namun sejauh ini belum ada pertempuran yang cukup berarti bagi kami. Meski sudah lama tinggal di istana jarang sekali aku berjumpa pada kaisar, paling-paling hanya berjumpa dengan puterinya yang manja, walaupun aku tak terlalu suka tingkahnya tapi sebenarnya aku kasihan padanya karena tak punya teman sepermainan yang sesungguhnya, hal itu dikarenakan banyak puteri-puteri pejabat lain yang bermain dengannya bukan karena mereka ingin, tapi karena ia adalah puteri kaisar yang harus dihormati. Seringkali aku terpaksa menemaninya karena pengawal pribadinya tidak bisa melaksanakan tugas, dikarenakan telah gugur ketika melawan pemberontak, pensiun, atau karena alasan lain. Aku jarang bicara dengannya, tapi aku tahu kalau ia suka menangis diam-diam di taman belakang kamarnya.

“Hei, apa pendapatmu tentang Ayah?, ” tanyanya suatu hari.

“Entahlah, tapi yang pasti ia adalah pria tua yang pikun, yang telah melupakan jasa-jasa Ayahku dan sejujurnya aku tidak terlalu suka. ” Jawabku terus terang.

“Jawaban apa itu? Memangnya apa yang kau tahu tentang Ayahku? Kau memang pengikut klan Sanada yang dulu pernah punya nama di negeri ini, tapi penilaianmu pada Ayahku sungguh tidak pantas bahkan untuk seorang prajurit rendahan sepertimu!, ” tiba-tiba saja emosinya meledak. 

             Tapi aku tak begitu peduli, karena apapun yang dikatakan orang tentang kaisar, aku tetap tak merubah pandanganku terhadapnya, karena dialah hidupku miskin.
Tapi entah sihir atau mantra gaib apa yang tengah menyelubungi istana, esok harinya aku disuruh menghadap secara langsung menemui kaisar dan hanya empat mata. Aku yakin ini semua ulah puterinya, karena semalam aku mengolok Ayahnya, ia tak terima dan melaporkan hal itu pada kaisar. Mungkin sebentar lagi aku akan dipecat dan dihukum. Aku memasuki aula pertemuan yang biasanya hanya bisa dimasuki prajurit kelas atas dan para menteri, ruangannya sangat luas langkah kakiku pun terdengar menggema. Di ujung ruangan terlihat kaisar tengah duduk dan tersenyum ramah padaku. 

“Apa benar kau Mochizuki Takuma ? Putera Mochizuki Touma?”

“Benar Yang Mulia.” Tiba-tiba hening, dan ku dengar samar-samar kaisar seperti sedang terisak.

“Ternyata itu benar kau, Nak” katanya sambil bersujud di hadapanku dan menangis sejadi-jadinya.

“Sunggu maafkanlah kebodohanku selama ini, aku sangat menyesal selama ini. Aku mencarimu, dan ketika aku tahu kau berada di Kyoto, pesuruhku mengabarkanku kalau Ibumu sudah meninggal dan kau dalam perjalanan menuju Edo, dan sungguh bodohnya aku yang baru tahu kalau kau adalah salah satu prajuritku selama satu tahun terakhir ini. Tak ada yang dapat ku lakukan untuk mengembalikan Ayahmu, tapi izinkanlah aku untuk membalas budi Ayahmu, Nak”.

             Tiba-tiba saja hatiku yang dengki karena memendam dendam lama pada kaisar ingin rasanya mengumpatnya, tapi apalah daya justru inilah ucapan yang keluar dari bibirku. 

“Tolong hentikan ini Yang Mulia, itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku berhasil diterima sebagai prajurit rendahan di sini adalah bukti bahwa Anda telah membalas jasa Ayahku”.

“Tidak, kalau saja aku tahu mengenai dirimu sejak dulu aku yakin hidupmu tidak akan penuh penderitaan dan Ibumu pun pasti masih hidup sekarang”.

“Sudah tidak ada gunanya membahas yang sudah mati, Yang Mulia”. Hey, Takuma masih bisanya kau memaafkan si tua bangka tak tahu terimakasih ini, hatiku masih bergejolak.

“Baiklah mulai sekarang kau ku angkat menjadi prajurit tinggiku dan mulai sekarang juga kau akan selalu ada di sampingku”.

Mendengar perkataannya, spontan ada angin sejuk berhembus dalam hatiku yang panas, mungkin sudah saatnya aku memaafkannya, dan menjalani hidupku dengan lebih baik.

“Aku tidak menolak, tapi biarkan Natsuke sahabatku mendapat posisi yang sama, karena dialah aku bisa berda di sini”.

“Apapun itu, aku setuju”.

          Tak lama setelah menjadi prajurit tinggi aku dan Natsuke banyak terlibat dalam berbagai perang besar melawan pemberontak. Saat itulah, aku baru sadar arti perjuangan samurai sesungguhnya. Banyak dari kami yang gugur, tapi aku bersyukur masih ada umur untukku sejauh ini. Pertempuran menjadi sarapan dan makan malam kami setiap harinya. Kami sering mempertanyakan kapan perang ini akan berakhir? Bisakah negeri ini menjadi negeri yang damai?

               Waktu terasa berlalu begitu lambat dan juga cepat. Kami para prajurit telah siap menghadapi apapun yang akan terjadi nanti. Sebelum berangkat menuju perang penghabisan aku sempat terlibat perbincangan manis dengan puteri kaisar, ya belakangan ini aku jauh lebih akrab dengannya. Kami saling menyemangati dalam setiap situasi, bahkan ia pernah bilang padaku akulah teman pertama baginya.

“Aku tidak akan memaafkanmu, jika kau pulang hanya membawa nama setelah pertempuran Hakodate. Jangan pikir aku senang, kalau kau mati, ”. Katanya bawel sambil memberikan jimat keberuntungan miliknya padaku, sikapnya memang tak jauh berbeda ketika kami pertama kali saling mengenal, tapi setidaknya ada saat-saat di mana aku yakin bahwa dia adalah gadis yang baik.

“Aku , Mochizuki Takuma berjanji pulang dengan selamat dan membawa kedamaian agar matahari dapat bersinar kembali di negeri ini, Nona kecilku. ” kataku dengan senyuman nakal.


         Edo 1868-1869. Sudah banyak hal yang aku jalani selama di Edo. Sejak perbincanganku dengan kaisar waktu itu sedikit mengubah pandanganku tentang dirinya. Beberapa upaya pemberontakan melawan kaisar pun cukup mulus ku tangani, pasukan keshogunan kehilangan benteng pertahanannya selama perang Hakodate. Dampak modernisasi kebijakan kaisar ini jugalah salah satu pendukung kekalahan tersebut. 

          Restorasi Meiji yang selama ini diimpikan oleh fraksi pendukung kaisar pun berhasil dijalankan demi melahirkan wajah baru negeri matahari. Restorasi Meiji ini juga menandai berakhirnya rezim feodal atau dapat dikatakan akhir era para samurai.
Setelah beberapa tahun dikurung dalam penjara, para pimpinan pemberontak direhabilitasi, dan pada akhirnya bergabung dengan pemerintahan baru yang telah lahir. Mereka kembali memulai karier politiknya di era baru negeri matahari. Perjuangan ini tentulah sangat mahal harganya, banyak darah yang harus ditumpahkan demi meraih negeri damai dan bersatu, diantaranya seorang samurai yang harus kehilangan nyawanya adalah Mirota Natsuke, teman sejawat dan sahabat sejati yang pernah aku miliki. 

           Masih ku kenang kata-kata terakhirnya di perang Hakodate, “Aku bangga mati sebagai seorang pejuang di tanah ini. Di tanah inilah para pejuang seperti kita mempertaruhkan nyawanya bukan saja demi seorang tuan, melainkan juga demi harga dirinya. Aku yakin, suatu hari matahari akan kembali terbit di negeri ini, ” saat kata-kata itu terucap darinya, seakan muka lucu yang selama ini ia miliki semua candaan yang ia buat berubah menjadi wajah serius yang bercampur dengan emosi seorang samurai. Darah yang terus mengalir dari tubuhnya, luka perih yang ia rasakan seakan tak ada apa-apanya.


            Perang telah lama berlalu, satu hal yang pasti hidup masih terus berlanjut di tanah para pejuang ini. Perjuanganku membentuk negeri yang damai masih harus ku jalani. Sembari menyongsong masa depan bersama jatuhnya kelopak bunga sakura di musim semi, aku tersenyum dan membulatkan tekad, samurai kini telah tiada namun semangat juangnya akan selalu abadi dalam setiap napasku dan penduduk negeri matahari.


Musim semi telah datang
Sakura pun kini kembali merekah
Masa lalu yang menghilang
Seiring helaan nafas dan kakiku yang terus melangkah


Yaps, cukup sekian :)


at June 13, 2017
Labels: Fiction
Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook

2 comments:

Siska qravity said...

bagus sekali tulisanya suka sekali

Investasi Saham Mayora

14 October 2018 at 10:00
アキーラー said...

Terima kasih ya sudah sering berkomentar

13 April 2020 at 05:59

Post a Comment

Newer Post » « Older Post
Subscribe to: Post Comments (Atom)

時は金なり

時は金なり

きれいな花にはとげがある

きれいな花にはとげがある

Blog Archive

  • August 2018 (1)
  • June 2017 (3)
  • May 2017 (5)

About Me

My Photo
アキーラー
Jiwa yang tersesat
View my complete profile

Labels

  • Belajar bahasa Jepang (1)
  • Fiction (1)
  • J-Culture (2)
  • Kumpulan Lirik J-Pop (2)
  • My Little Samurai (1)
  • My Review (1)
  • Wakaranai :D (1)

Search This Blog

Powered by Blogger.

Report Abuse

  • Ungkapkan Perasaanmu Lewat Hanakotoba
    Hi mina, kali ini aku bakalan ngepost tentang bahasa yang cukup menarik. Bahasa apa? Ya, ini dia bahasa bunga. Bungapun memiliki bahasa loh!...
  • Profil Anggota Shinsengumi
    Konichiwa mina! Kali ini aku mau bagiin post mengenai grup samurai favoritku SHINSEGUMI kyaaaaa!!!! :D Buat yang belum tahu Shinsegumi itu...

Pages

  • Beranda

 
Copyright © Akiira's Blog. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block. Price India. Hostgator Coupon.